Berakhir Ricuh, Demonstran Dipukul oleh Kelompok OTK dalam Aksi Damai di Luwu Utara
LUWU UTARA | JELASKATA – Beberapa demonstran yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Daerah (AMPERA) Luwu Utara mendapat tindak kekerasan dari sekelompok orang tak dikenal (OTK).
Tindakan kekerasan itu didapat demonstran saat melakukan aksi di Masamba, Luwu Utara pada Rabu (16/4/2025).
Wakil Jenderal Lapangan AMPERA, Kelvin mengungkapkan sedikitnya empat orang peserta aksi menjadi korban kekerasan.
Sebagian mereka lehernya dipiting dan ada juga yang mendapat pukulan dari arah kelompok orang tak dikenal tersebut.
“Amsal dipukul di bagian wajah, Marsel dicekik, sementara dua lainnya juga mengalami tindak kekerasan meski identitas dan rinciannya belum diketahui secara pasti,” bebernya.
Diketahui, aksi demonstrasi tersebut diikuti oleh sejumlah pemuda dan perwakilan masyarakat dari wilayah Rampi, Rongkong, dan Seko.
Mereka menyampaikan tuntutan terhadap stagnasi pembangunan infrastruktur yang selama ini menjadi keluhan utama warga pedalaman.
“Aksi ini sah dan damai. Sudah diberitahukan secara resmi kepada kepolisian. Tapi yang datang bukan aparat, melainkan sekelompok orang tak dikenal yang membubarkan dengan kekerasan. Tidak ada perlindungan, tidak ada ruang bicara. Kekecewaan ini nyata, tapi tidak akan menghentikan perjuangan. Selama ketimpangan masih dibiarkan, suara dari pedalaman akan terus bersuara,” jelas Kelvin.
Selain menyoroti dugaan pembungkaman aksi, Kelvin juga menyayangkan absennya aparat yang seharusnya menjamin keamanan dan hak konstitusional warga.
Menurut Kelvin, Situasi ini menambah daftar panjang ketidakpekaan negara terhadap suara dari pinggiran.
Ia menambahkan, sebelumnya, menjelang Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadits (STQH), aksi serupa direncanakan namun ditunda karena Bupati Luwu Utara, Andi Abdullah Rahim sedang berada di luar daerah.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, sambung Kevin juga meminta aksi tersebut dibatalkan demi menjaga kondusivitas, mengingat sedang berlangsungnya STQH tingkat provinsi.
Namun menurut Kevin, alasan tersebut tidak dapat dijadikan dalih untuk membatasi hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
“Pemerintah seharusnya mengedepankan dialog, bukan pembungkaman. Apalagi isu yang kami suarakan menyangkut hak-hak dasar masyarakat pedalaman,” tegas Kevin.
AMPERA menilai kecenderungan demokrasi lokal di Luwu Utara kini semakin elitis dan eksklusif. Aspirasi masyarakat, terutama dari wilayah pedalaman, dinilai tidak mendapatkan ruang artikulasi yang layak.
“Jika ruang demokrasi hanya dibuka untuk agenda simbolik dan seremonial, lalu ke mana masyarakat harus bicara? Apakah Luwu Utara akan dibiarkan menjadi daerah yang gagal mengintegrasikan rakyatnya dalam proses pembangunan,” tanya Kevin.
Kevin kembali mengingatkan, di tengah janji-janji pembangunan yang disuarakan pemerintah, masih ada wilayah-wilayah yang dipinggirkan seperti Rampi, Rongkong, dan Seko. (***)
Tinggalkan Balasan